Masih
terbayang dalam ingatan masa kecilku, saat expo tahun 90-an, suasana
meriah semarak dengan warna warni budaya yang dibawa dari setiap daerah
diseluruh tanah Papua. Mulai dari tari-tarian, produk-produk kesenian,
makanan khas daerah masing-masing, setiap daerah berlomba-lomba
menampilkan yang terbaik.
Setelah
belasan tahun yang lalu, sore itu saya kembali berjalan menyusuri area
yang dulu bagaikan ‘Disney Land’ Papua ini terlihat sepi, denyut
kehidupan ‘Budaya’ itu sirna.
Terlihat
bangunan-bangunan setiap anjungan yang dulu berdiri angkuh menampilkan
cirinya masing-masing kini hanya terlihat lusuh, tak terurus, seolah
tertunduk lelah bersama hilangnya kepedulian kita akan identitas diri
yang kita sebut Budaya. Apakah nilai-nilai ini hilang karena kita semua
terhanyut dalam kerasnya hidup yang tidak pandang bulu? Salah siapa?
Dibangun
awal 1980-an, Kompleks Taman Budaya (KTB) ini diharapkan dapat menjadi
pusat kebudayaan Papua (saat itu Irian Jaya). Setelah aset ini
diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah pada akhir1990-an,
keberadaannya semakin tidak terurus hingga terkesan terlantar.
Berhadapan
dengan anjungan Manokwari, terlihat anjungan Sorong dengan bangunan
modern berlantai dua yang menjulang. Disebelahnya lagi ada anjungan
Jayawijaya (Wamena) dengan beberapa bangunan menyerupai rumah adat
tradisional Honai. Pada sisi kanan kiri ruas jalan yang menuju Kantor
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Budaya, tampak berjejer anjungan lain
milik beberapa kabupaten induk seperti, Nabire, Biak Numfor, Yapen
Waropen, Jayapura, Fak-Fak dan Merauke. Masing-masing anjungan memiliki
bangunan berbentuk rumah adat tradisional yang pada tiap dinding, tiang
penyangga hingga pagarnya berhiaskan motif ukiran yang menjadi ciri khas
daerahnya.
Mayoritas
penghuni area ini adalah mahasiswa dari setiap daerah di Papua. Mereka
menghuni anjungan masing-masing. Sudah berbagai macam upaya dari
Pemerintah Provinsi Papua untuk menertibkan kembali area ini agar dapat
difungsikan sebagaimana mestinya. Namun hasilnya selalu nihil, dan
nyaris berujung pada aksi adu otot. Para penghuni kompleks ini tidak mau
angkat kaki sebelum mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah (Pemilik
Area). Sungguh tidak dapat diterima dengan akal sehat tentang ganti rugi
tersebut, pertama, Aset ini adalah milik pemerintah, kedua, jika
dilihat dari kondisi bangunan-bangunan yang ditempati, hampir seluruhnya
sudah tidak layak huni, karena tidak ada perawatan sama sekali.
Akibatnya
berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pentas budaya harus dialihkan
ke tempat lain. Tentunya hal ini tidak efektif dan efisien. Disini
terlihat generasi masa sekarang tidak lagi menghargai nilai-nilai
budaya, dan kebal terhadap arti identitas diri sebagai suatu bangsa yang
beradab.
Apakah
Budaya itu bukan sesuatu yang signifikan lagi? Apakah kita sudah tidak
peduli lagi dengan identitas yang mengalir dalam darah kita, jika
demikian, nilai apa lagi yang bisa kita peluk untuk menyatakan
keberadaan diri kita, orang PAPUA..
Sumber: fransiscarumbino.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar