Home » » Ulat Sagu, Makanan Masyarakat Papua yang Berprotein Tinggi

Ulat Sagu, Makanan Masyarakat Papua yang Berprotein Tinggi

Hasil penelitian Mike Juneth Christin Toam, dan kawan-kawan menunjukkan bahwa, ulat sagu memiliki kandungan protein asam amonio yang sangat diperlukan dalam tubuh manusia. Kandungan protein ulat sagu lebih tinggi dibanding telur ayam.
PENELITIAN untuk mengetahui kandungan protein dalam ulat sagu itu dilakukan lima siswa SMA di Papua. Mereka adalah Agustina Padama (siswi SMA Negeri 3 Buper Waena), Darius Ohee (siswa SMA Negeri 3 Buper Waena), Mike Juneth Christin Toam (siswi SMA Negeri 3 Buper Waena), Richard Antonius Mahuze (siswa SMA Negeri 3 Merauke) dan Yulian Marco Awairaro ( siswa SMA Negeri 1 Serui).
Penelitian dilakukan selama sebulan dan hasil karya ilmiahnya dilombakan pada The International Conference of Young Scientists (ICYS) ke -19 tahun 2012 di Kampus Radboud University Nijmegen, Belanda.

Fokus penelitian yang diambil Mike Juneth Christin Toam untuk mengikuti lomba olimpiade di Belanda adalah ulat sagu, karena ulat sagu merupakan makanan tradisional masyarakat Papua, “dan saya juga dari Papua, jadi mau mengangkat potensi yang ada di Papua”, ujar Mike.
Ulat sagu sudah dikonsumsi lama oleh masyarakat di Papua secara turun-temurun. Tapi ulat sagu tidak populer karena tidak semua orang makan ulat sagu. Keadaan itu yang mendorong Mike untuk meneliti kadar kandungan protein pada ulat sagu.
Jika dibandingkan, kadar kandungan protein pada ulat sagu, lebih tinggi dibanding sebutir telur ayam. “Dari ulat sagu itu, saya rubah jadi berbagai bentuk. Ada yang dikeringkan, diasinkan dan dibekukan. Ulat sagu yang segar juga kita buat beberapa jenis makanan, seperti sandwich, spageti, bakwan, nasi goreng, bakso dan keripik”, jelas Mike.
Mike Juneth Christin Toam mengatakan ada beberapa macam makanan yang bisa dibuat dari ulat sagu. Dibuat dalam berbagai jenis makanan agar bentuk ulatnya tidak kelihatan. JIka kelihatan ulat, orang akan merasa jijik kalau makan. Walaupun dirubah dalam berbagai bentuk, tapi kandungan proteinnya tetap tinggi, tidak berubah. “Ini dilakukan supaya saya juga bisa makan, dan orang lain juga bisa makan. Karena selama ini saya juga tidak bisa makan ulat sagu”. Perbandingan kandungan protein antara ulat sagu dan telur itu belum pada. Misalnya, seekor ulat sagu kandungan proteinnya sama dengan sebutir telur ayam, atau setumpuk ulat sagu kandungan proteinnya sama dengan 10 butir telur ayam. Penelitian perbandingan ini belum dilakukan. Namun hasil yang ditemukan Mike dalam penelitian itu bahwa kandungan protein ulat sagu lebih tinggi dari telur ayam.
Dalam ulat sagu mengandung banyak hal: ada protein, lemak, karbohidrat, air, dan banyak kandungan yang ada dalam ulat sagu itu yang penting, terutama protein.
“Saya lebih fokus pada asam amino. Karena asam amino adalah salah satu zat terbesar kedua dalam tubuh setelah air. Jadi asam amino adalah zat yang sangat dibutuhkan dalam tubuh”.
Karena itu, khusus bagi ibu-ibu yang dalam masa kehamilan dan anak-anak yang dalam masa pertumbuhan itu asam amino sangat penting dalam tubuh mereka. Kelompok ini disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang kandungan proteinnya sangat tinggi, seperti ulat sagu. “Di kampung-kampung di Sentani misalnya, ibu-ibu yang setelah melahirkan makan ulat sagu agar air susunya lancar”, ujar Mike.
Proses penelitian dilakukan selama sebulan di Jakarta. Orangtua kelima peneliti di Jayapura, Serui dan Merauke yang kirim sampel ulat sagu ke Jakarta. Dari lima anggota Tim Ulat Sagu itu, Mike yang terpilih ikut lomba olimpiade mengikuti ICYS ke-19 pada 2012 di Nijmegen. Syarat peserta yang terpilih, bisa berbahasa Inggris, serta bisa menghitung dan menjelaskannya dengan baik. Sehingga selama persiapan lomba itu, Tim Juri Indonesia memilih Mike yang mewakili Tim Ulat Sagu ikut lomba di Belanda.
Berdasarkan hasil penelitian itu, Tim Juri Indonesia merekomendasikan agar penelitian kandungan protein di ulat sagu ini harus diteruskan. Mereka juga merasa tertarik dengan penelitian ulat sagu. “Bahkan ada seorang profesor dari Universitas Indonesia bilang tertarik dengan hasil penelitian saya. Sehingga, dia mau melanjutkan penelitian ini lebih dalam untuk pembudidayaannya, bukan hanya di Papua, tapi juga di luar Papua”, ujar Mike.
Ulat sagu yang diteliti harus masih hidup, kalau sudah mati tidak bisa diteliti. Saat lomba di Belanda tidak bawa ulat sagu hidup, karena tidak bisa lolos di bandara. Pasti disensor (layar monitor), karena makhluk hidup tidak boleh dibawa keluar negeri. “Jadi yang saya bawa ke Belanda adalah sampel ulat sagu yang sudah dikeringkan dan diasinkan”.
Mike Juneth Christin Toam mengatakan budidaya ulat sagu di Papua belum ada, tapi kalau di Maluku ada budidaya ulat sagu. Tapi belum maksimal, baru coba-coba. Karena itu, para profesor di sana juga bilang mau pembudidayaan ulat sagu. Jadi nanti bisa diaplikasikan ke masyarakat Papua. Penelitian ulat sagu sudah pernah ada dari Maluku, tapi cuma garis besarnya saja.
“Sedangkan yang kami teliti lebih rinci. Kita teliti tiga bagian besar dari ulat sagu untuk mengetahui bagian mana yang kandungan proteinnya lebih tinggi. Sementara penelitian sebelumnya di Maluku, dia hanya utuh satu ekor ulat sagu, tidak teliti perbagian”.
Seekor ulat sagu itu terdiri dari kepala, badan, serta cairan putih dan cairam hitam bagian dalam tubuh ulat sagu. Setiap bagian itu memiliki kandungan protein yang berbeda. Dalam penelitian, tim pisahkan setiap bagian tubuh lalu di teliti untuk mengetahui bagian tubuh mana yang kandungan proteinnya tinggi. Dari bagian tubuh yang kandungan proteinnya tinggi itu yang diolah ke makanan-makanan agar setiap makanan itu mengandung protein yang tinggi. Kepala dan kulit ulat sagu diblender sampai halus dicampur dengan tepung terigu kemudian dibuat keripik.
Ulat sagu hidup dalam pohon sagu. Karena itu, masyarakat Papua harus membudidayakan pohon sagu. Kita tidak mungkin membudidayakan ulat sagu tanpa pohon sagu. Sebanyak 90 persen pohon sagu ada di Papua, sementara di Maluku hanya 10 persen. Sehingga, 90 persen hutan sagu di Papua ini harus dijaga. Pohon sagu jangan dimusnahkan agar anak cucu kita di waktu mendatang juga tetap makan sagu dan ulat sagu.
Selama ini yang masih makan ulat sagu adalah masyarakat di kampung, sedangkan masyarakat yang hidup di kota tidak makan ulat sagu. Karena itu melalui penelitian ini Mike membuat ulat sagu menjadi makanan lain agar bisa dikonsumsi semua lapisan masyarakat. Seperti bakso, nasi goreng, bakwan dan lainnya. Kedepan ulat sagu menjadi oleh-oleh bagi setiap orang yang pulang dari Papua, misalnya oleh-oleh keripik ulat sagu, bakso ulat sagu, sehingga orang di luar Papua juga bisa makan ulat sagu.
Makanya, rencana kedepan mau teliti tentang pembudidayaan ulat sagu, supaya ulat sagu tidak hanya ada di kampung-kampung di Papua saja, tapi dimana-mana bisa dibudidayakan ulat sagu.
“Saat mau lomba, saya agak gugup. Tapi saat tampil presentasi tidak boleh gugup, karena itu akan mempengaruhi nilai presentasi. Nilai yang diambil dalam lomba  itu ada dua: presentasi dan abstrak. Saya punya abstrak itu salah karena tidak dikirim dan saya tidak ikut pembinaan tahap kedua. Jadi abstraknya tidak dimasukkan dalam buku. Otomatiskan nilai saya kurang, tapi mungkin presentasi saya bagus, jadi menutupi nilai abstrak yang minus, jadi saya dapat juara tiga”, jelas Juneth Toam.
Fasilitas laboratorium SMA Negeri 3 Buper untuk melakukan penelitian seperti ini belum lengkap. Beberapa alat saja yang ada. Fasilitas laboratorium sekolah-sekolah di Papua sangat minim, sehingga perlu perhatian khusus untuk laboratorium-laboratorium di sekolah.
Mike menyarankan bahwa kedepan, peralatan laboratorium penelitian harus diperbanyak supaya anak-anak yang mau meneliti sesuatu itu bisa dilakukan. Kalau di Surya Institute itu semuanya bagus, bersih, lengkap, modern, jadi kalau kita mau meneliti apa saja enak karena lengkap, bahan-bahannya tersedia. Kalau di SMA Negeri 3 Buper itu sangat terbatas, ada yang tidak ada, ada yang perlu dikirim. Di Papua bahan penelitiannya banyak, tapi fasilitas laboratoriumnya tidak ada.

0 komentar:

Posting Komentar