Seorang polisi berseragam tewas ditembak dengan luka-luka di depan Gedung KPK, Jakarta Pusat, pada Selasa malam (10/9) seperti dilaporkan Antaranews. Personel polisi pada Satuan Provost Markas Besar Kepolisian Indonesia yang terbujur kaku dengan masih mengenakan helm itu diidentifikasi bernama Brigadir Kepala Sukardi.
Sukardi masih mengenakan helmnya, sementara sepeda motornya tergeletak di pinggir Jalan HR Rasuna Said, depan Gedung KPK. Sukardi terluka tembak di dadanya. Menurut keterangan polisi dan sejumlah saksi mata, Sukardi terkena tiga kali tembakan. Informasi dari lapangan menyebutkan, Sukardi ditembak orang tidak dikenal sesaat setelah dia menghentikan iringan truk pengangkut besi. Penembak diketahui mengendarai sepeda motor.
Polda Metro Jaya menyiarkan keterangan resmi mengenai penembakan polisi oleh orang tidak dikenal di depan Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Selasa malam. "Pelaku berjumlah 4 orang dengan mengendarai sepeda motor Vixion berwarna merah," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, komisaris Besar Polisi Rikwanto melalui rilis singkat yang diterima Tempo pada Rabu pagi.
Korban, ujarnya, anggota Provost Baharkam Mabes Polri, Bripka Sukardi. Ketika penembakan terjadi, Sukardi, yang merupakan anggota satuan polisi air, mengendarai sepeda motor Honda Supra berplat nomor polisi B 6671 TXL. "Korban berpakaian dinas ketika itu," kata Rikwanto.
Menurut Rikwanto, saat itu korban sedang mengawal 6 unit truk Tronton bermuatan Elevator Part dari Tanjung Priuk menuju Rasuna Said Tower, Setia Budi. Rikwanto mengatakan bahwa korban mengalami 3 tembakan di dada dan perut. Korban dibawa ke Runah Sakit Polri Kramat Jati untuk diotopsi.
Menurut Rikwanto, saat itu korban sedang mengawal 6 unit truk Tronton bermuatan Elevator Part dari Tanjung Priuk menuju Rasuna Said Tower, Setia Budi. Rikwanto mengatakan bahwa korban mengalami 3 tembakan di dada dan perut. Korban dibawa ke Runah Sakit Polri Kramat Jati untuk diotopsi.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengakui ada dugaan bahwa serangkaian penembakan polisi dua bulan terakhir ini merupakan aksi kelompok Abu Omar. Hal ini dia sampaikan dalam wawancara khusus dengan Majalah Tempo, akhir Agustus 2013 lalu.
Menurutnya, ada kemiripan antara satu insiden penembakan dengan yang lain. "Peluru itu kan bisa dilihat dari selongsongnya, proyektilnya. Ada identitas di situ. Dari situ dilihat ada kemiripan," katanya. Meski begitu, Ansyaad menolak memastikan bahwa polisi menemukan ada tulisan PNP (Philippine National Police) pada peluru di tempat kejadian perkara. "Detail seperti itu tak bisa dijelaskan," katanya.
Ciri-ciri di peluru itulah yang membuat polisi menduga kelompok Abu Omar terlibat. Pada 2011, Abu Omar ditangkap karena memasukkan senjata dari Filipina. "Abu Omar sudah terlalu banyak terekam jejaknya. Dia pengendali. Dia yang hendak membunuh Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil," kata Ansyaad.
Abu Omar juga terlibat pengeboman Masjid Istiqlal pada akhir 1990-an. Setelah jaringan teroris dilumpuhkan di banyak tempat, kata dia, Abu Omar berusaha membangun sisa jaringan lama di Jakarta dan sekitarnya. "Dia punya banyak kaki tangan. Misalnya ada Abu Roban, Qodrat, dan Sofyan. Mereka membentuk kelompok baru," kata Ansyaad lagi. Kelompok inilah yang berhubungan dengan kelompok teroris di Sulawesi Selatan, Poso, dan Bima.
Menurut Ansyaad, untuk bertahan, kelompok Abu Omar membentuk kelompok-kelompok kecil. "Kami sebut sel atau halaqoh. Dua-tiga orang bikin satu halaqoh. Orangnya itu-itu juga, tapi mereka pun merekrut orang baru," katanya. Di sekitar Jakarta, kata dia, ada belasan kelompok seperti itu.
Menurutnya, ada kemiripan antara satu insiden penembakan dengan yang lain. "Peluru itu kan bisa dilihat dari selongsongnya, proyektilnya. Ada identitas di situ. Dari situ dilihat ada kemiripan," katanya. Meski begitu, Ansyaad menolak memastikan bahwa polisi menemukan ada tulisan PNP (Philippine National Police) pada peluru di tempat kejadian perkara. "Detail seperti itu tak bisa dijelaskan," katanya.
Ciri-ciri di peluru itulah yang membuat polisi menduga kelompok Abu Omar terlibat. Pada 2011, Abu Omar ditangkap karena memasukkan senjata dari Filipina. "Abu Omar sudah terlalu banyak terekam jejaknya. Dia pengendali. Dia yang hendak membunuh Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil," kata Ansyaad.
Abu Omar juga terlibat pengeboman Masjid Istiqlal pada akhir 1990-an. Setelah jaringan teroris dilumpuhkan di banyak tempat, kata dia, Abu Omar berusaha membangun sisa jaringan lama di Jakarta dan sekitarnya. "Dia punya banyak kaki tangan. Misalnya ada Abu Roban, Qodrat, dan Sofyan. Mereka membentuk kelompok baru," kata Ansyaad lagi. Kelompok inilah yang berhubungan dengan kelompok teroris di Sulawesi Selatan, Poso, dan Bima.
Menurut Ansyaad, untuk bertahan, kelompok Abu Omar membentuk kelompok-kelompok kecil. "Kami sebut sel atau halaqoh. Dua-tiga orang bikin satu halaqoh. Orangnya itu-itu juga, tapi mereka pun merekrut orang baru," katanya. Di sekitar Jakarta, kata dia, ada belasan kelompok seperti itu.
Di sisi lain, Wakil Kepala Kepolisian Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Oegroseno, menegaskan, pihaknya meningkatkan kemampuan intelijen menyusul penembakan personel polisi beridentitas Brigadir Kepala Sukardi, di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa malam.
Sukardi adalah korban kelima penembakan misterius oleh kawanan tidak teridentifikasi yang hampir seluruhnya terjadi di lingkungan Kepolisian Daerah Jakarta Raya.
Oegroseno, dalam wawancara dengan satu stasiun televisi nasional, menyatakan, "Saya tidak bisa sembarang memberi pernyataan. Yang jelas kami telah memerintahkan personel jangan bergerak sendirian."
Sementara itu seorang pengamat terorisme Al Chaidar, kepada stasiun televisi Metro TV, mensinyalir kelompok terorisme berada di balik penembakan polisi ini.
Sementara itu, LBH Keadilan mendesak Polri rutin mengaudit peredaran senjata api yang digunakan masyarakat, Polri dan TNI.
"Siapa pun pelaku penembakan tersebut dan penembakan-penembakan yang belakangan ini marak terjadi merupakan akibat dari tata kelola peredaran senjata api yang nirakuntabilitas. Tanpa akuntabilitas yang serius, peristiwa penembakan akan terus berulang," kata Koordinator Advokat Publik LBH Keadilan Ahmad Muhibullah, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu.
Dia menilai rangkaian penembakan polisi itu telah mengikis rasa aman masyarakat. "Aparat kepolisian yang memiliki senjata saja menjadi sasaran penembakan, apalagi masyarakat biasa," katanya.
Berdasarkan catatan LBH Keadilan, penembakan Selasa semalam merupakan yang kelima sepanjang tahun 2013. Pada 7 Juni, penembakan terjadi di Kediri dengan korban Bripka Didik Puguh. Pada 27 Juli, terjadi di Jl. Cirendeu Raya, Ciputat dengan korban Aipda Fatah Saktiyono. 7 Agustus, terjadi di Depan RS Sari Asih, Ciputat, dengan korban Ipda Dwiyanto. Jumat 16 Agustus, Bripda Kus Hendratma dan Bripka Ahmad Maulana menjadi korban penembakan di Pondok Aren, Ciputat.
"Siapa pun pelaku penembakan tersebut dan penembakan-penembakan yang belakangan ini marak terjadi merupakan akibat dari tata kelola peredaran senjata api yang nirakuntabilitas. Tanpa akuntabilitas yang serius, peristiwa penembakan akan terus berulang," kata Koordinator Advokat Publik LBH Keadilan Ahmad Muhibullah, dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu.
Dia menilai rangkaian penembakan polisi itu telah mengikis rasa aman masyarakat. "Aparat kepolisian yang memiliki senjata saja menjadi sasaran penembakan, apalagi masyarakat biasa," katanya.
Berdasarkan catatan LBH Keadilan, penembakan Selasa semalam merupakan yang kelima sepanjang tahun 2013. Pada 7 Juni, penembakan terjadi di Kediri dengan korban Bripka Didik Puguh. Pada 27 Juli, terjadi di Jl. Cirendeu Raya, Ciputat dengan korban Aipda Fatah Saktiyono. 7 Agustus, terjadi di Depan RS Sari Asih, Ciputat, dengan korban Ipda Dwiyanto. Jumat 16 Agustus, Bripda Kus Hendratma dan Bripka Ahmad Maulana menjadi korban penembakan di Pondok Aren, Ciputat.
Mengapa Polisi yang jadi Target?
Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan, penembakan terhadap anggota kepolisian merupakan upaya kelompok teroris untuk melayangkan ancaman terhadap simbol-simbol negara. Menurutnya, kelompok ini mengincar polisi karena Polri merupakan simbol negara di bidang keamanan. Dengan menembak polisi, kata Eva, masyarakat akan lebih merasa diteror karena Polri tak lagi punya kekuatan.
Eva juga berpendapat terulangnya lagi kasus penembakan terhadap polisi menunjukkan ancaman terorisme di Jakarta masih nyata. "Sungguh menyesakkan dada, melihat para kopral bergelimpangan jadi sasaran tembak jaringan teroris yang beroperasi seperti rantai terputus. Ini menegaskan bahwa ancaman terorisme masih nyata," katanya kepada Antara, Rabu pagi, menanggapi kasus penembakan Bripka Sukardi.
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengaitkan penembakan Bripka Sukardi dengan penemuan 51 peluru tanpa pemilik di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (23/8). "Patut dikaitkan dengan modus baru operasi jaringan teroris saat ini," katanya seraya berharap ada strategi baru untuk menghadapi modus baru ini.
"Saya berharap kerja intelijen antarinstansi keamanan, baik Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Intelijen Negara (BIN), maupun Densus 88 Antiteror Mabes Polri, diintensifkan untuk mempersempit ruang gerak teroris sehingga menjadi pencegahan yang efektif," ucapnya.
Eva juga memandang perlu isolasi ketat para narapidana "ideolog" yang saat ini menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sehingga bisa memutus rantai komando para pengikut mereka di luar lapas/rutan. "Tidak mungkin operator/eksekutor bertindak tanpa komando dari para ideolog," katanya.
Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu mengaitkan penembakan Bripka Sukardi dengan penemuan 51 peluru tanpa pemilik di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (23/8). "Patut dikaitkan dengan modus baru operasi jaringan teroris saat ini," katanya seraya berharap ada strategi baru untuk menghadapi modus baru ini.
"Saya berharap kerja intelijen antarinstansi keamanan, baik Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Intelijen Negara (BIN), maupun Densus 88 Antiteror Mabes Polri, diintensifkan untuk mempersempit ruang gerak teroris sehingga menjadi pencegahan yang efektif," ucapnya.
Eva juga memandang perlu isolasi ketat para narapidana "ideolog" yang saat ini menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan sehingga bisa memutus rantai komando para pengikut mereka di luar lapas/rutan. "Tidak mungkin operator/eksekutor bertindak tanpa komando dari para ideolog," katanya.
Sementara itu, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya mengatakan terdapat beberapa pihak yang kemungkinan bertanggungjawab terhadap tewasnya Bripka Sukardi setelah dirinya mendapati tiga kali tembakan dari orang tak dikenal.
"Ada kemungkinan beberapa pihak yang menjadi paling bertanggung jawab atas insiden penembakan di dekat Kantor KPK (Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta)," kata Mustofa kepada Antara di Jakarta, Rabu dini hari.
Menurutnya, pihak pertama adalah sesama korps polisi. Alasannya pada tahun lalu terdapat 600 polisi dipecat dengan berbagai alasan. "Terdapat kemungkinan pelaku penembakan adalah mantan satu korps yang dipecat. Tindakan mereka memiliki alasan motif balas dendam karena sakit hati," kata Staf Ahli DPR RI 2009-2014 tersebut.
Sedangkan kelompok kedua adalah gerakan misterius yang belum diketahui segala hal tentang mereka. Sementara itu, kelompok ketiga adalah oknum jaringan pengedar narkoba yang sedang melancarkan serangan balasan atas tertangkapnya dan tereksekusinya sejumlah rekan satu jaringan.
Dan pihak terakhir atau keempat adalah kelompok teroris yang mengkambinghitamkan pelaksanaan Miss World di Indonesia yang baru saja memulai ajangnya pada pekan ini. (IRIB Indonesia/Antaranews)
0 komentar:
Posting Komentar