Dalam
pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 terbesit sebuah cita-cita dimana tercapai sebuah
kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia . Amandemen UUD NRI 1945 sebagai bagian
dari reformasi, juga melahirkan era baru konstelasi politik ketatanegaraan,
penguatan fungsi yudikatif seolah melampaui batas tujuannya yang mengakibatkan
dinamika politik yang sedemikian tinggi, kondisi ini menyebabkan turunnya
kualitas pelayanan publik dan kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat.
Energi para penyelengara negara seolah habis untuk mengurus isu-isu politik
yang berkepanjangan dan terkadang menyesatkan serta tidak kondusif untuk
penyelenggaraan pembangunan nasional, pada akhirnya kondisi ini akan semakin
melemahkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menurunnya kesejahteraan
masyarakat. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan ideologi Bangsa yaitu
Pancasila.
Pancasila
lahir dari rumusan The
Founding Fathers tentang paham kebangsaan yang dapat mengatasi
keragaman Indonbesia sebagai negara yang majemuk. Masing-masing anak bangsa,
memiliki ikatan primordialnya dan kepercayaanya masing-masing. Hanya dalam
posisi sebagai sesama bangsa Indonesia dalam perasaan senasib sepenanggungan
dalam satu ikatan sejarah maka akan mampu menampik loyalitas-loyalitas sempit
berdasar ideologi partisan, agama, adat, suku, ras, daerah, dan seterusnya.
Seperti
pernah diuraikan Soekarno, sebelum era Republik Indonesia, bangsa
Indonesia hanya dua kali merasakan sebagai negara nasional atau negara-bangsa.
Yaitu pada masa Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya. Di luar itu,
entitas bangsa yang menjelma menjadi negara atau kesatuan politik masih
bersifat lokal atau parsial. Misalnya Kerajaan Gowa yang hanya meliputi suku
Bugis di Sulawesi, Kerajaan Mataram yang hanya mencakup sebagian suku Jawa,
Kerajaan Ternate yang hanya terdiri dari sebagian suku bangsa di Maluku, dan
sebagainya. Dari kesatuan politik yang hanya lokal ini terbukti dalam sejarah:
gagal mengantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajahan
Belanda. Baru ketika perjuangan bangsa yang bersifat nasional, meliputi seluruh
warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, maka perjuangan itu berhasil
mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Dengan
paham kebangsaan sebagai salah satu asas negara, maka orang Islam, orang
Kristen, orang Jawa, orang Batak, orang keturunan Tionghoa, semuanya memiliki
perasaan atau kehendak yang sama sebagai satu bangsa Indonesia. Rasa kebangsaan
dengan demikian mampu menjadi wahana titik temu (common denominator) keberagaman latar belakang warga negara
Indonesia. Dengan kebangsaan, maka kemajemukan bukan menjadi kutukan yang
menyeret kita ke dalam perpecahan, tapi justru menjadi faktor yang memperkaya
kesatuan atau rasa memiliki (sense of
belonging) kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan kata lain:
kemajemukan justru menjadi anugerah dengan kata lain kemajemukan bukanlah
sebuah kelemahan namun merupakan sebuah kekuatan untuk mencapai sebuah tujuan
bersama.
Dengan
paham kebangsaanlah kita bisa merasakan semangat “satu untuk semua dan semua
untuk satu”. Dengan paham kebangsaan, kita menjadi memiliki kesetaraan di depan
hukum dan pemerintahan (equality
before the law) tanpa harus mengalami diskriminasi lantaran perbedaan
latar belakang primordial atau ikatan sempit seperti suku, agama, ras, atau
kedaerahan.
Sebagai
negara yang mendasarkan Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa,
maka segala aspek kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk
Pemerintahan harus senantiasa berdasarkan nilai-nilai Pancasila tersebut.
Perjalanan reformasi Indonesia yang memberi ruang kebebasan berdemokrasi justru
membawa pergeseran kehidupan masyarakat dan berdampak pada menguatnya
nilai-nilai kesukuan serta lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis keagamaan.
Keadaan ini menjadi semakin masive dan
berpotensi melemahnya nilai-nilai pedoman masyarakat Indonesia. Hal tersebut
dapat terlihat dari akhlak para penyelenggara negara yang terus mengalami
degradasi moral dalam melaksanakan tugas mempimpin bangsa.
Papua
sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali
ke pangkuan Republik Indonesia setelah melalui perjalanan panjang perjuangan
yang diakhiri melalui suatu proses Penentuan Pendapat Rakyat. Selepas Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang dijadikan dasar klaim atas wilayah Papua
sebagai bagian integral dari Republik Indonesia, gejolak tidak pernah berhenti.
Bahkan jauh sebelum Pepera gejolak untuk menolak menjadi bagian dari Republik
Indonesia sudah berlangsung di Papua, terutama semenjak penandatanganan New York Agreement pada 15
Agustus 1962 yang berada di bawah tekanan Amerika Serikat. Sebagai landasan
untuk proses transfer Papua Barat menjadi wilayah di bawah United Nation Temporary Executive Territory (UNTEA)
dari 1 Mei 1962 sampai 1 Mei 1963, kemudian melakukan penyerahan secara
administratif Papua kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Indonesia setuju
untuk menyelenggarakan semacam referendum pada tahun 1969.
Dari
perjalanan panjang tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan penting dimana
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 namun pasca
proklamasi, Papua masih terbelit dengan kolonialisme Belanda hingga puncaknya
integrasi Papua melalui referendum tahun 1969 yang disebut Pepera. Sebuah fakta
yang menyadarkan kita bahwa sebuah kewajaran masyarakat Papua terbelit dalam
ketertinggalan, isolasi dan stigma negatif lainnya dibanding daerah lain di
Indonesia yang telah memulai sebuah peradaban baru sejak 1945.
Rekam
jejak pergolakan Papua menyisakan pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia
terhadap proses internalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam jiwa ideologis
masyarakat Papua. Di samping masalah-masalah ideologis juga terdapat akumulasi
masalah kesejahteraan, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sedemikian
kompleks dan membelit masyarakat Papua. Fakta bahwa masyarakat Papua hidup di
tengah keterbelakangan di atas kekayaan alam mereka sendiri telah menimbulkan
tanda tanya besar atas komitmen dan kesungguhan Pemerintah dalam membangun
Papua. Di tengah situasi inilah kelompok-kelompok perjuangan yang menginginkan
Papua Merdeka dan terlepas dari NKRI mendapat simpati sebagian masyarakat yang
merasa tertindas semasa Orde Baru melalui penerapan Gerakan Operasi Militer
yang menyisakan trauma dan kepedihan.
Sejalan
dengan situasi ini di era 1998, terjadi krisis moneter yang menimpa Indonesia,
pergolakan masyarakat di bidang politik meninggi hal tersebut juga mempengaruhi
situasi politik di Papua. Puncak dari arus perubahan yang disebut reformasi
tersebut adalah diundangnya 100 perwakilan masyarakat Papua dibawah komando
Thom Baenal ke Istana Presiden untuk berdialog dan menyampaikan aspirasi
masyarakat Papua. Salah satu aspirasi yang membuat Presiden B.J Habibie kala
itu tercengang adalah tuntutan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari
NKRI. Aspirasi tersebut kemudian di akomodir hingga menjadi isu hangat di
Papua. Dengan kondisi seperti itu maka salah satu jalan keluar yang dinilai
bisa mengakomodasi semua pihak adalah dengan memberikan status wilayah Otonomi
Khusus bagi Papua. Komitmen pemberian status Otonomi Khusus untuk Papua muncul
pada GBHN yang disusun MPR periode 1999-2004, dimana pemberian status Otonomi
Khusus tersebut secara khusus juga dikaitkan dengan tujuan-tujuan memperkuat
integrasi nasional dalam bentuk negara kesatuan. Bahkan menurut studi Richard
Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti,
tawaran untuk status daerah Otonomi Khusus sudah merupakan bagian dari retorika
Pemerintah pusat semenjak tahun 1999, hanya saja persoalan dengan komitmen
Pemerintah pusat tersebut adalah kurangnya substansi dan lemahnya kecerdasan
dalam memberikan solusi penawaran status Otonomi Khusus.
Secara Ekslusive Otonomi Papua
melahirkan 3 (tiga) pilar baru dalam kepemimpinan Pemerintahan sebagai wujud
penyelenggaraan negara di Papua yakni Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketiga pilar inilah yang
semestinya menjadi motor penggerak perubahan Papua baru yang lebih sejahtera,
aman dan damai. Pada kenyataanya para penyelenggara negara di Papua seolah
belum sepenuhnya siap untuk mengisi era baru Otonomi Khusus Papua dengan konsep
dan program-program pemberdayaan orang asli Papua, para penyelenggara negara
seolah larut dalam hingar bingar kebebasan berpolitik.
Diberlakukannya
Otonomi Khusus Papua membawa perubahan besar terkait tatanan dan penyelenggaran
Pemerintahan daerah yang mengakomodir berbagai kekhususan daerah Papua yang
diharapkan akan menjadi solusi yang menjawab akumulasi permasalahan pasca
bergabungnya kembali ke pangkuan NKRI. Salah satu upaya untuk
mengimplementasikan status Otonomi Khusus adalah pembentukan Majelis Rakyat
Papua (MRP). Jika merujuk UU No. 21/2001, status Otonomi Khusus akan memberikan
peran besar kepada Majelis Rakyat Papua (MRP), karena kalau merujuk pada Bab V
UU No. 21/2001, disebutkan bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) merupakan bagian
dari Pemerintahan daerah di Papua, yang atas dasar itu Pemerintahan di Papua
didasarkan pada 3 (tiga) lembaga pilar utama yakni : legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat Papua), eksekutif (Gubernur dan jajaran Pemerintahan Daerah)
dan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang menurut UU No. 21/2001, posisi ketiga
lembaga tersebut adalah sama dan sederajat.
Perjalanan
Papua di era Otonomi khusus membawa perubahan signifikan, pembangunan dilakukan
di berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pembangunan sumber daya
manusia, infrastruktur bahkan pembukaan keterlibatan masyarakat asli di bidang
birokrat semakin terbuka lebar. 15 Tahun perjalanan Otsus masih merupakan
sebuah proses diperlukan komitmen dan konsistensi keseriusan Pemerintah Dalam
menjalankan mandat pembangunan yang tertuang di dalam Otsus tersebut.
Pada poin ini revitalisasi nilai-nilai
Pancasila di dalam kehidupan para penyelenggara negara menjadi
sangat vital dalam meluruskan kembali rel perjuangan yang
sesungguhnya dari keinginan masyarakat Papua yakni percepatan pembangunan
wilayah Papua. Para Penyelenggara negara di Papua dapat berada dalam
koridornya apabila nilai-nilai Pancasila dapat dihayati dan dipedomani dalam menjalankan
mandat yang diberikan Namun terbesit Permasalahan yang terjadi pada nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara
negara saat ini dimana rendahnya kemampuan untuk mengendalikan diri khususnya penyelenggara negara sebagai pelaku utama dalam menyelenggarakan jalannya
Pemerintahan berpotensi
menghambat laju pembangunan yang ada.
Untuk itu revitalisasi
nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara merupakan sebuah
keniscayaan dan kebutuhan yang sangat mendesak dalam
kehidupan bangsa guna percepatan pembangunan di wilayah Papua dalam rangka pembangunan nasional. Revitalisasi
nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara adlh
sebuah keharusan untuk merubah paradigma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah
yang selaras dengan cita-cita perjuangan bangsa.Percepatan pembangunan di wilayah Papua ditujukan untuk
meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan, kemampuan, keamanan dan kesetaraan
hidup seluruh masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi untuk menjaga
keutuhan NKRI.
Pancasila
sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia bukan
terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang
sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia, namun
terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa
Indonesia.
Nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila mengandung 5
(lima) pesan pokok yaitu penghayatan dan
hakekat identitas bangsa, kesepakatan akan cita-cita
nasional, kebulatan tekad untuk mencapai tujuan nasional, mempertahankan
dan memperjuangkan kepentingan nasional
serta kesepakatan tentang pencapaian tujuan nasional. Dari seluruh kandungan
tersebut sangat penting dan vital posisi penyelenggara negara untuk mewujudkan
pembangunan nasional. Nilai-nilai fundamental Pancasila menjadi sumber good governance dimana dalam
nilai dasar itulah ditemukan 5 (lima) sila yang secara utuh membangun
sebuah sistem yang saling mendukung, sebab Pancasila dikerangkai
oleh komitmen moral yang yang merupakan syarat utama dalam pencapaian good governance di alam
kemerdekaan. Di dalam Pancasila terkandung tiga nilai yang sangat potensial
untuk dijadikan landasan dalam mencapai sebuah cita-cita bersama diantaranya
Nilai dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis. Ada 3 nilai pokok yang
terdapat terkandung di dalamnya diantaranya:
1. Nilai Dasar
Nilai Dasar adalah nilai-nilai yang berasal dari nilai budaya bangsa
Indonesia yang bersifat abstrak dan umum, relatif tidak berubah namun maknanya
selalu dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Artinya nilai dasar itu
bisa terus menerus ditafsirkan ulang baik makna maupun implikasinya. Melalui
penafsiran ulang itulah akan didapat nilai baru yang lebih operasional sesuai
dengan tantangan zaman. Adapun nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan (musyawarah-mufakat), dan
Keadilan.
a. Nilai
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa;
Sila pertama menyiratkan
nilai religius, hubungan personal antara manusia dengan Tuhan, kepercayaan akan
Ke-Tuhanan akan membawa prinsip dasar di dalam hati nurani masing-masing
individu.
b. Nilai
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
Sila kedua mengandung
unsur kemanusiaan, dalam konteks modern dapat dikemukakan sila ini merupakan
sumber dari adanya HAM di Indonesia.
c. Nilai
Sila Persatuan Indonesia;
Nilai ini adalah
kristalisasi dari kemajemukan yang ada di Indonesia, suatu nilai yang
menyatukan seluruh kemajemukan dalam bingkai NKRI. Sila ini juga mencerminkan
adanya Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan Bangsa yang memiliki makna walau
berbeda-beda tetapi tetap satu.
d. Nilai
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;
Kedaulatan negara
ditangan rakyat, Pemimpin kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi dengan akal
sehat. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Musyawarah untuk
menghasilkan kebulatan mufakat yang dicapai melalui perwakilan rakyat.
e. Nilai
Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia;
Wujud keadilan sosial
dalam menentukan proses musyawarah.Keadilan dalam kehidupan sosial meliputi
bidang Ipoleksosbudhankam.Cita-cita masyarakat adil dan makmur, materiil dan
spiritual.Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan menghormati hak
orang lain. Cita-cita akan kemajuan dan pembangunan.
2. Nilai
Instrumental
Pancasila
Nilai
Instrumental merupakan nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan nilai-nilai
dasar yang memiliki formulasi dan parameter yang jelas dan
kongkret. Nilai Instrumental terimplementasi dalam arahan
kebijakan atau strategi atau merupakan eksplisitasi dari nilai dasar. Oleh karenanya dalam
kehidupan masyarakat yang hidup pada berbagai lapisan sosial, dapat berperan
serta dalam pelaksanaan konsep strategi pembangunan dan prioritas
sasaran yang tepat. Dalam tataran penyelenggaraan Pemerintahan daerah Papua
maka bentuk-bentuk nilai instrumental dapat diwujudkan melalui strategi
pembangunan dan prioritas sasaran yang tepat. Prioritas ini sudah dapat
dipedomani sebagaimana telah ditetapkan melalui 11 (sebelas) prioritas sasaran antara lain :
a. Tata Kelola Pemerintahan,
membangun capacity building aparat Pemda dan good governance dapat dijalankan
di semua tingkatan Pemerintahan daerah.
b. Politik,
membentuk Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi)
sebagai jabaran dan instrumen UU Nomor 21 Tahun 2001 dapat diwujudkan dan
seluruh kehendak yang telah ditetapkan UU Nomor 21 tahun 2001 diimplementasikan
oleh seluruh stake holders,
komunikasi konstruktif dengan semua elemen masyarakat dan dialog tentang Papua
dapat dilaksanakan.
c. Affirmative Action,
(kebijakan keberpihakan) pembentukan regulasi
daerah yang memihak serta pendidikan dan pelatihan kepada Orang Asli Papua
(OAP) yang menunjang affirmative
action di seluruh sektor Pemerintahan dan swasta yang dapat
dijalankan.
d. Hukum dan HAM,
penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM
dapat dilaksanakan, politisasi kasus-kasus kriminal tidak terjadi dan
kasus-kasus Korupsi dapat didorong untuk ditangani menurut ketentuan
perundangan penanggulangan korupsi secara benar.
e. Infrastruktur Dasar,
membuka terisolasinya wilayah pegunungan
tengah dan seluruh daerah terisolir, mendorong dan memastikan bahwa program
pembangunan infrastruktur dasar dapat dilaksanakan dan dituntaskan.
f. Kesehatan,
mewujudkan program Pos Kesehatan Pembantu di
tiap kampung, Puskesmas di distrik dan Rumah Sakit rujukan di kabupaten dan
provinsi dapat diwujudkan serta dapat berfungsi menjadi sentra pelayanan dan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat Papua.
g. Pendidikan,
Program Pendidikan Usia Dini (PAUD) dan
pendidikan dasar 9 tahun di tiap kampung, pendidikan menengah
kejuruan/umum di distrik, program sekolah unggulan di Kabupaten/Kota Jayapura,
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Sorong dapat diwujudkan
serta menjadikan Universitas Cenderawasih (Uncen) dan Universitas Papua (Unipa)
menjadi center of excelence di
Papua.
h. Ekonomi,
program peningkatan kapasitas ekonomi usaha
kecil “mama-mama”, penyediaan pasar tradisional di seluruh kabupaten/kota,
pemihakan kepada pengusaha Orang Asli Papua (OAP) dapat berjalan.
i. Pengawasan Lingkungan,
menjamin bahwa semua penambangan yang
dilaksanakan di seluruh Papua dilaksanakan sesuai dengan seluruh peraturan
perundangan yang berlaku.
j. Sosial Budaya,
implementasi hak ulayat dan hukum adat dalam
kehidupan bermasyarakat di Papua serta nuansa Papua dalam semua fasilitas
publik dan relasi-relasi sosial dalam masyarakat berkembang dan berjalan
harmoni.
k. Keamanan,
memastikan bahwa kekerasan tidak terjadi lagi
di Papua, penegakan hukum dapat ditegakkan serta pengelolaan keamanan di Papua
dijalankan sesuai dengan sistem perundangan baik yang terkait dengan Polri
maupun TNI.
3. Nilai Praksis Pancasila
Nilai Praksis adalah
nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari yang menandakan
apakah nilai dasar atau instrumental masih hidup di tengah masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Contoh nilai praksis seperti saling menghormati,
toleransi, kerja sama, kerukunan, bergotong royong, menghargai, dan
sebagainya. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan
gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Untuk ini
prinsip-prinsip dasar etika wawasan kebangsaan merupakan tata
nilai-nilai moral yang hasrus dihormati dan berlaku universal sebagai pedoman
bersikap, berperilaku, bertindak dan berucap bagi sesuai perannya dalam
menjalankan aktivitasnya sebagai Generasi muda harapan bangsa dengan
prinsip-prinsip dasar etika antara lain :
a) Prinsip dasar Kejujuran
b) Prinsip dasar Keadilan
c) Prinsip dasar Tepat Janji
d) Prinsip dasar Taat Aturan
e) Prinsip dasar Tanggung Jawab
f) Prinsip dasar Kewajaran dan Kepatutan
g) Prinsip dasar Kehati-hatian
Meskipun saat ini
belum ada pedoman formal bagaimana menghayati nilai-nilai Pancasila itu, namun
dengan adanya pengalaman di masa lalu hendaknya bisa dijadikan dasar untuk
dilakukan secara mandiri sesuai tanggung jawab dan kompetensi yang melekat pada
fungsi dan peranan masing-masing bagi penyelenggara negara. Setelah memahami
dan menghayati secara benar, tahap berikutnya adalah dituntut untuk mau dan
mampu mengamalkan dan meningkatkan pengamalan nilai-nilai Pancasila itu secara
murni dan konsekuen sesuai bidang tugasnya, baik di eksekutif maupun
legislatif. Karena penyelenggara negara melakukan tugas-tugas pembangunan
dengan segenap semangat, pola pikir, pola sikap dan pola tindak perbuatannya
diarahkan dan dilaksanakan sebagai wujud pengamalan nilai-nilai Pancasila
secara serasi, selaras dan seimbang dalam kesatuan yang utuh.
Selanjutnya dalam
menjalankan fungsi Pemerintahan para penyelenggara negara hendaknya
berpedoman pada prinsip-prinsip dasar etika yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar tersebut diharapkan dapat
mempercepat Pembangunan Papua dalam bingkai Otonomi Khusus. Otonomi khusus
dapat berjalan secara optimal apabila ditunjang dengan sumber daya
penyelenggara negara yang telah memedomani Pancasila lewat Nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya untuk melaksanakan mandat yang telah diberikan.
Hakikat pembangunan
nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya. Dapat ditarik sebuah indikator bahwa
pembangunan infrastruktur atau fisik akan terwujud dengan dilandasi pembangunan
sumber daya manusia terlebih dahulu, pembangunan sumber daya manusia melalui
revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila adalah sebuah solusi untuk mencapai tujuan
bersama.
Jayapura, Agustus 2014
Penulis
Drs. PAULUS WATERPAUW
BRIGADIR JENDERAL POLISI
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar