Jenderal Polisi Drs. H. Mochamad Sanoesi
Posted by Unknown
Posted on 07.10
with No comments
Salah seorang Putra terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia adalah Jenderal Polisi Drs. H. Mochamad Sanoesi. Ia merupakan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) ke-10 yang menjabat mulai dari 18 Juni 1986 sampai 28 Februari 1991.
Mochamad Sanoesi dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 15 Februari 1935, dari pasangan Suami isteri bernama Mochamad Ropik dan Siti Utih. Sanoesi menjalani masa kecil dan masa remajanya di Kota Bogor, dan dibesarkan oleh lingkungan yang sangat mencintainya. Sanoesi memulai jenjang pendidiknnya pada tahun 1942 yaitu dengan masuk sekolah rakyat di Bogor, pada tahun 1852, Sanoesi lulus SMP dan di tahun 1955 Sanoesi dinyatakan lulus sekolah Menengah Atas. Setamat SMA, Sanoesi sempat menjalani masa kuliah selama 7 bulan di Universitas Indonesia, jurusan Sastra Inggris tetapi kemudian Ia memilih untuk meninggalkan kuliahnya tersebut dan lebih memilih untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Pada saat usianya 27 tahun, tepatnya tahun 1962, Sanoesi berhasil menamatkan PTIK, dan dilantik menjadi Komisaris Polisi II.
Kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan didapatkan Sanoesi ketika Ia bertugas di Madiun. Setelah melaui Seleksi yang ketat Ia dikirim untuk tugas belajar di International Police Academy, Amerika Serikat selama 12 bulan. Sanoesi juga mendapat kesempatan untuk belajar di Sekolah Staf dan Komando Kepolisian (Seskopol) dan pendidikan karir lanjutan ABRI yakni Sekolah Staff dan Komando Gabungan (Seskogab).
Sanoesi bukan hanya sukses dalam menempuh jenjang karirnya, Ia juga sukses dalam membina rumah tangga. Sanoesi menikah dengan gadis cantik bernama Nani Suryani Surawijaya yang dikenalnya ketika masa pendidikan, pernikahan mereka dianugerahi tiga orang anak.
Pada bidang karirnya, setelah lulus dari PTIK tahun 1962, Mochmad Sanoesi di tempatkan di Madiun Ssebagai Kapolres 1051 Kota Madiun, Jawa timur dan kemudian dipindahkan ke Kediri sebagai Kepala Staf Komdin Kediri. Dari Kediri, Ia ditarik ke Markas Besar (Mabes) Polri Jl.Trunojoyo, Jakarta. Ia bertugas di Komando pengembangan Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat). Ia pernah pula menjabat Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Polri dan Kepala Staf Kobangdiklat Polri hingga 1982. Dari pusat, Ia kemudian dipromosikan menjadi Kapolda Kalimantan Selatan dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Sukses di Kalimantan, satu setengah tahun Kemudian, Sanoesi ditarik lagi ke Jakarta dan diserahi jabatan Asisten Kamtibmas ABRI.
Pada 1 Juni 1985 tokoh yang terkenal suka membina hubungan dengan bawahan dan punya relasi yang sangat luas di kalangan kepolisian, militer dan sipil ini diangkat sebagai kapolda Jawa Tengah. Dibawah kepemimpin Sanoesi, Jawa Tengah keluar sebagai pelaksana terbaik Operasi Zebra 1985 untuk seluruh wilayah di Indonesia. Di Jawa Tengah itu, Ia juga membuka lembaran sejarah baru dengan mengasuransikan sekitar 23 ribu anggota polisi dan karyawan sipil Polda Jawa Tengah melalui penandatanganan kerjas sama denga PT Asuransi Jiwasraya. Baru sembilan bulan memangku jabatan Kapolda Jawa Tengah, konseptor Pataka PTIK yang berbunyi Vidya Satyatama Mitra ini diangkat ke jabatan puncak Kepolisian Republik Indonesia.
Sanoesi resmi dilantik sebagai Kapolri pada 18 Juni 1986 oleh Presiden Soeharto. Penyandang bintang tiga ini menggantikan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo yang telah memasuki masa pensiun. Dalam masa tugasnya itu, Sanoesi melakukan banyak hal demi kemajuan Polri. Ia tercatat berhasil mengawal proses pembangunan sehingga berjalan dengan baik. Transisi dari Repelita IV ke Repelita V berjalan dengan mulus. Pemulihan umum 1987 pun tertib dan damai sehinga menghasilkan wakil-wakil rakyat yang siap bekerja unuk kepentingan nasional dalam Sidang Umum MPR 1988. Polri tidak lepas dari keberhasilan pemilu ini. Selama memimpin Polri, berbagai tindak kejahatan kekerasan yang meresahkan masyarakat dapat ditanggulangi oleh Sanoesi.
Nama Polri di luar negeri pun menjadi bahan pembicaaan di negara-negara ASEAN dan negara-negara maju. Pengiriman 50 orang perwira menengah Polri di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengawsi pembaruan politik di Namibia tahun 1989, merupakan bukti nyata bahwa Polri di masa kepemimpinan Sanoesi cukup memberikan darma bakti kepada dunia. Penangkapan beberapa orang asing, yang di negaranya telah berbuat tindak kejahatan, merupakan contoh lain bahwa Polri smasa kepemimpinan Sanoesi telah memberikan sumbangsih yang sebesar-besarnya di dalam dan di luar negeri. Negara-negara Asia Tenggara, Anggota ASEANPOL, menyatakan hormat kepada Sanoesi, karena selama Ia memimpin Polri dapat bekerja sama lebih erat lagi dalam rangka penangulangan kejahatan regional.
Optimasi dan dinamisasi merupakan ikon yang popular selama Sanoesi memimpin Polri. Strategi itu sering disebut dengan singkatan opdin Polri. Dengan Strategi opdin, Polri berhasil menjalankan tugas-tugasnya meski dalam kondisi SDM, peralatan teknologi, dan anggaran yang serba terbatas. Para perwira polisi didorong untuk berhemat, bertindak efektif dan efisien dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan teknologi tinggi karena minimnya anggaran kepolisian. Tamtama, bintara, dan perwira polisi digiring Sanoesi untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada serta menjadi teladan bagi masyarakat dalam kondisi bangsa yang sedangng mengalami berbagai kesulitan. Dengan strategi opdin ini, semua titik kelemahan Polri dibalik oleh Sanoesi menjadi kekuatan yang bercitra positif.
Kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan didapatkan Sanoesi ketika Ia bertugas di Madiun. Setelah melaui Seleksi yang ketat Ia dikirim untuk tugas belajar di International Police Academy, Amerika Serikat selama 12 bulan. Sanoesi juga mendapat kesempatan untuk belajar di Sekolah Staf dan Komando Kepolisian (Seskopol) dan pendidikan karir lanjutan ABRI yakni Sekolah Staff dan Komando Gabungan (Seskogab).
Sanoesi bukan hanya sukses dalam menempuh jenjang karirnya, Ia juga sukses dalam membina rumah tangga. Sanoesi menikah dengan gadis cantik bernama Nani Suryani Surawijaya yang dikenalnya ketika masa pendidikan, pernikahan mereka dianugerahi tiga orang anak.
Pada bidang karirnya, setelah lulus dari PTIK tahun 1962, Mochmad Sanoesi di tempatkan di Madiun Ssebagai Kapolres 1051 Kota Madiun, Jawa timur dan kemudian dipindahkan ke Kediri sebagai Kepala Staf Komdin Kediri. Dari Kediri, Ia ditarik ke Markas Besar (Mabes) Polri Jl.Trunojoyo, Jakarta. Ia bertugas di Komando pengembangan Pendidikan dan Latihan (Kobangdiklat). Ia pernah pula menjabat Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan Polri dan Kepala Staf Kobangdiklat Polri hingga 1982. Dari pusat, Ia kemudian dipromosikan menjadi Kapolda Kalimantan Selatan dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Sukses di Kalimantan, satu setengah tahun Kemudian, Sanoesi ditarik lagi ke Jakarta dan diserahi jabatan Asisten Kamtibmas ABRI.
Pada 1 Juni 1985 tokoh yang terkenal suka membina hubungan dengan bawahan dan punya relasi yang sangat luas di kalangan kepolisian, militer dan sipil ini diangkat sebagai kapolda Jawa Tengah. Dibawah kepemimpin Sanoesi, Jawa Tengah keluar sebagai pelaksana terbaik Operasi Zebra 1985 untuk seluruh wilayah di Indonesia. Di Jawa Tengah itu, Ia juga membuka lembaran sejarah baru dengan mengasuransikan sekitar 23 ribu anggota polisi dan karyawan sipil Polda Jawa Tengah melalui penandatanganan kerjas sama denga PT Asuransi Jiwasraya. Baru sembilan bulan memangku jabatan Kapolda Jawa Tengah, konseptor Pataka PTIK yang berbunyi Vidya Satyatama Mitra ini diangkat ke jabatan puncak Kepolisian Republik Indonesia.
Sanoesi resmi dilantik sebagai Kapolri pada 18 Juni 1986 oleh Presiden Soeharto. Penyandang bintang tiga ini menggantikan Jenderal Polisi Anton Soedjarwo yang telah memasuki masa pensiun. Dalam masa tugasnya itu, Sanoesi melakukan banyak hal demi kemajuan Polri. Ia tercatat berhasil mengawal proses pembangunan sehingga berjalan dengan baik. Transisi dari Repelita IV ke Repelita V berjalan dengan mulus. Pemulihan umum 1987 pun tertib dan damai sehinga menghasilkan wakil-wakil rakyat yang siap bekerja unuk kepentingan nasional dalam Sidang Umum MPR 1988. Polri tidak lepas dari keberhasilan pemilu ini. Selama memimpin Polri, berbagai tindak kejahatan kekerasan yang meresahkan masyarakat dapat ditanggulangi oleh Sanoesi.
Nama Polri di luar negeri pun menjadi bahan pembicaaan di negara-negara ASEAN dan negara-negara maju. Pengiriman 50 orang perwira menengah Polri di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengawsi pembaruan politik di Namibia tahun 1989, merupakan bukti nyata bahwa Polri di masa kepemimpinan Sanoesi cukup memberikan darma bakti kepada dunia. Penangkapan beberapa orang asing, yang di negaranya telah berbuat tindak kejahatan, merupakan contoh lain bahwa Polri smasa kepemimpinan Sanoesi telah memberikan sumbangsih yang sebesar-besarnya di dalam dan di luar negeri. Negara-negara Asia Tenggara, Anggota ASEANPOL, menyatakan hormat kepada Sanoesi, karena selama Ia memimpin Polri dapat bekerja sama lebih erat lagi dalam rangka penangulangan kejahatan regional.
Optimasi dan dinamisasi merupakan ikon yang popular selama Sanoesi memimpin Polri. Strategi itu sering disebut dengan singkatan opdin Polri. Dengan Strategi opdin, Polri berhasil menjalankan tugas-tugasnya meski dalam kondisi SDM, peralatan teknologi, dan anggaran yang serba terbatas. Para perwira polisi didorong untuk berhemat, bertindak efektif dan efisien dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan teknologi tinggi karena minimnya anggaran kepolisian. Tamtama, bintara, dan perwira polisi digiring Sanoesi untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada serta menjadi teladan bagi masyarakat dalam kondisi bangsa yang sedangng mengalami berbagai kesulitan. Dengan strategi opdin ini, semua titik kelemahan Polri dibalik oleh Sanoesi menjadi kekuatan yang bercitra positif.
Slamet Gundul Sang Perampok
Posted by Unknown
Posted on 06.43
with No comments
Jarang-jarang Mabes Polri mengeluarkan perintah paling keras dalam menangkap bajingan: hidup atau mati.
Tahun 1989, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan mengeluarkan perintah kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan Sumatera Bagian Selatan agar menangkap seorang buron dengan kata-kata ancaman tadi. 'Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati.'
Siapa Slamet Gundul? Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata itu dulu pernah menjadi musuh polisi nomor satu. Namanya berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Tapi julukannya yang top adalah Slamet Gundul.
Dialah tersangka bos kawanan garong nasabah bank bersenjata api yang belasan kali menggegerkan berbagai kota di seantero Pulau Jawa. Polisi boleh dibilang sudah mati-matian mengejar buron itu. Tapi bukan Slamet Gundul namanya, bila tidak licin. Ia beberapa kali lolos dari kepungan polisi. Pernah tertangkap dan diadili, tapi ia kabur dari halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur, begitu vonisnya dibacakan hakim.
Slamet bersama 7 kawanannya pernah dicegat oleh enam jagonya reserse Polda Ja-Teng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah pompa bensin di Pandansimping, Klaten, Jawa Tengah, ketika hendak beroperasi. Lewat baku tembak selama 15 menit, seorang rekan Slamet, Jarot, tewas dengan lima peluru. Sedangkan dua orang lagi, Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka. Slamet sendiri, yang sudah kena tembak di kedua bahunya, masih bisa kabur dengan sepeda motor.
Polda Jawa Tengah tentu saja gemas akibat lolosnya buron itu. Sebab, dalam setahun beroperasi di Semarang, komplotan Slamet bisa menjarah duit Rp 159,5 juta.
Tahun 1989 komplotan itu merampas Rp 23 juta milik pedagang tembakau asal Kendal, Rp 40 juta uang juragan ikan, dan Rp 34 juta milik Universitas Islam Sultan Agung. Nasabah BCA cabang Peterongan kena sikat Rp 28,5 juta dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta.
Setelah kelompok 'Kwini', Slamet agaknya mencatat rekor perampokan dalam frekuensi kejahatan dan hasil jarahan tertinggi saat ini. Korban utamanya memang nasabah bank. 'Biasanya salah seorang dari kami datang dulu ke bank dengan sepeda motor, pura-pura jadi nasabah,' kata Subagio dan Sugeng, anggota kelompok Slamet yang tertangkap di Klaten, hampir serempak.
Dengan penyamaran itu, kata kedua orang tadi, mereka bisa mengetahui nasabah yang mengambil uang dalam jumlah besar. Kalau sudah dapat sasaran, komplotan Slamet itu akan menguntit mangsanya dengan sepeda motor. Dengan kode itu, Slamet, yang biasanya menunggu bersama gangnya di atas mobil di luar halaman bank, segera tahu mangsa yang dituju. Setelah itu, barulah kelompok Slamet, yang bermobil, menyusul dan menghadang korban.
Modus ini diduga juga dilakukan komplotan Slamet ketika merampok di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Ketika itu mobil Chevrolet dengan penumpang dua karyawan CV Bambu Gading akan menyetor uang Rp 10 juta ke bank. Kendaraan mereka tiba-tiba dipepet kendaraan perampok, sebuah minibus dan dua buah sepeda motor. Mobil korban benar-benar tak bisa bergerak setelah minibus itu tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Pada waktu itulah perampok yang bersepeda motor mengacungkan pistol lewat jendela. Ketika komplotan itu beraksi, dua polisi, di antaranya Letnan Dua Soewito, mencoba menyergap mereka. Tembak-menembak terjadi. Dua perampok tewas, empat lainnya kabur. Tapi, di pihak polisi, Soewito roboh dengan peluru bersarang satu sentimeter di bawah mata kanannya. Sebelum 'main' di Semarang, pada 1987, reserse Jakarta memang beberapa kali menguber komplotan itu. Waktu itu rekor Slamet sudah merampok 11 kali nasabah bank.
Pada Januari 1987, dua regu reserse Polda Meto Jaya mengepung rumah sewaan Slamet di bilangan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Tapi, begitu pintu rumah diketuk polisi, yang keluar cuma istrinya. Slamet sendiri, dengan menggenggam dua pistol Colt kaliber 32 dan 38 melompati tembok dua meter yang membatasi kamar mandinya dengan dapur tetangga. Di rumah itu sudah ada dua anggota polisi yang menunggunya. Tapi polisi kalah cepat. Bagai koboi mabuk, ia menembak membabi buta. Ajaib, ia menerobos pagar puluhan petugas yang mengepungnya. Ia kabur setelah menyambar sebuah Metromini yang sedang dicuci keneknya.
Toh pada awal tahun itu juga polisi berhasil menjerat belut itu. Bersama dua anggota komplotannya, Jarot dan Sahut, ia dihadapkan ke meja hijau. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengganjar ketiganya masing-masing hukuman 3 tahun. Tapi, ketika petugas menggiring ketiga terpidana itu ke mobil tahanan, mereka mendorong pengawal tersebut dan segera lari. Hanya Sahut yang bisa diamankan lagi. Tapi Slamet dan Jarot kabur dengan pengendara sepeda motor, yang anehnya telah menunggu di luar halaman pengadilan. Menurut Sugeng dan Subagio, bos mereka selama di LP Cipinang justru berhasil merekrut anggota baru dari sesama rekan tahanan di sana. 'Slamet itu orangnya pandai mengambil hati, sehingga banyak yang bersedia ikut kelompoknya,' kata mereka. Sugeng dan Subagio, yang masuk Cipinang juga karena merampok bank, mengaku ikut Slamet setelah berkenalan di Cipinang tersebut. Subagio, setelah menjalani hukuman selama 2 tahun, baru dilepas awal 1989. 'Setelah saya keluar LP, saya lalu menghubunginya,' ujarnya. Menurut mereka, meskipun Slamet yang menyusun skenario kejahatan dengan kekerasan itu, toh sebenarnya ia tak kejam. 'Ia belum pernah membunuh korban-korbannya,' kata Sugeng. Yang kejam itu, kata mereka, justru Jarot, yang mati tertembak di pompa bensin itu.
Pelatihan VPSHR - IHT 2012 Polres Teluk Bintuni
Posted by Unknown
Posted on 05.02
with No comments
Pada tanggal 17 sampai dengan 21 september 2012 Polres
Teluk Bintuni bersama BP Tangguh melaksanakan Pelatihan dalam dinas (In House
Training) bertempat di Mako Polres Teluk Bintuni. Pelatihan yang bertajuk
Voluntary Principles of Security and Human Right – In House Training (VPSHR –
IHT) 2012 ini dilaksanakan setiap tahunnya.
Latihan ini sangat penting dilakukan agar para Personel Polri
di Lapangan lebih mengerti tentang cara-cara pengamanan yang sesuai dengan
azas-azas Human Right (Hak Asasi Manusia).
Latihan ini melibatkan 30 personel Polres Teluk Bintuni
dengan beberapa materi pembekalan antara lain PERKAP NO. 01 / 2009 tentang
Penggunaan Kekuatan POLRI dan Hak Asasi Manusia.
Beberapa pemantau juga hadir yaitu perwakilan BP Tangguh,
Komnas HAM Papua, dan LBHI Papua Barat.