Selasa, 17 Juni 2014

Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan



Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso - Cerita menarik tentang mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso tak ada habisnya. Kisahnya layak dikupas, terutama dalam menjaga integritas. Dia berani menolak hal-hal menggiurkan bagi seorang pejabat, apa saja?

Kisah ini terungkap dari hasil penelusuran Suhartono, wartawan Kompas yang menulis buku 'Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan' terbitan PT Kompas Media Nusantara. Sejumlah kesaksian menarik didapatkan dari orang-orang dekat Hoegeng yang masih ada saat ini.

Berikut sejumlah hal yang ditolak Hoegeng saat jadi polisi atau menteri, sesuatu hal yang layak ditiru:


Tolak Rumah Dinas

Walau menjabat Kapolri, Jenderal Hoegeng tak mau menempati rumah dinas di Jl Pattimura, Kebayoran, Jaksel. Hoegeng lebih memilih rumah yang dia bayar dari gajinya di Jl Madura, Menteng, Jakpus.

Hoegeng menempati rumah di Jl Madura itu sudah lama, sejak dia menjadi menteri, kemudian menjadi kepala Imigrasi, hingga Kapolri. Tawaran rumah dinas dan tanah ditolaknya, dia lebih memilih rumah sewaan itu.


Hoegeng tak mau menempati rumah dinas. Kala itu, dia bercerita kepada sekretarisnya, Sudharto.


"Wah, Hoegeng tidak mau nanti jika sudah pensiun, Hoegeng tidak punya rumah tinggal. Jadi Hoegeng tetap akan tinggal di rumah sewaan saja," terang Hoegeng kepada Dharto.


Dharto juga bercerita di buku itu, dia pernah dipanggil ke rumah Hoegeng di Jl Madura itu. Saat itu, Dharto bertugas di Sekretariat Negara sedangkan Hoegeng sudah menjadi Kapolri. Curhat Hoegeng, sang pemilik rumah sudah tak mau menerima uang sewa kala Hoegeng menjadi Kapolri.



Tolak Mobil dan Motor

Selaku pejabat tentu Jenderal Hoegeng banyak yang mendekati. Bermacam-macam cara untuk merebut hati Hoegeng. Ada yang mengirim hadiah mobil hingga motor. Tapi hadiah yang dikirimkan pengusaha itu dia tolak.

Hoegeng yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Presidium tak mengambil hadiah itu. Menurut Sudharto atau Dharto sekretarisnya, Hoegeng hanya menyimpan dan melupakan surat pengambilan mobil itu.


Demikian juga kala menjabat Kapolri. Diceritakan Didit, anak lelaki Hoegeng. Saat dia pulang ke rumah, ada dua buah motor yang masih dibungkus di halaman rumah. Didit sempat berharap, sang ayah mau menerima hadiah itu.


Tapi Hoegeng tetaplah seorang Hoegeng. Kala dia sampai di rumah, dia memanggil ajudannya dan meminta agar motor itu dikembalikan kepada yang mengirimkan.


"Ini masih jam 16.00, masih ada orang di kantornya. Motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya," jelas Didit menirukan ucapan ayahnya kepada ajudannya.



Tolak Pengawalan

Jenderal Hoegeng memang pantas bila disebut menjadi teladan. Bayangkan, fasilitas negara yang dianggapnya mewah dan membuat dia jauh dari teman-temannya dia tolak. Salah satunya soal pengawal.

Hoegeng menolak fasilitas pengawalan sejak menjadi menteri sekretaris presidium, kemudian menjadi kepala jawatan Imigrasi, hingga saat dia menjadi Kapolri. Coba bayangkan bila banyak pejabat kita bermental seperti Hoegeng.

"Hoegeng tidak memerlukan pengawal pribadi di rumah dan di kantor," kata Hoegeng kepada sekretarisnya Sudharto atau Dharto.

Saat itu Dharto baru menjabat sebagai sekretaris Hoegeng dan baru saja menemui Kepala Biro Administrasi dan Organisasi Setneg, Sarojo Hanggoro. Dharto diberitahu hak-hak Hoegeng oleh Hanggoro, dan dia menyampaikannya kepada Hoegeng.

"Hidup Hoegeng berserah saja, tak perlu dikawal-kawal. Kalau Hoegeng mau mati ya mati saja. Tidak usah pakai pengawal atau penjaga rumah," tambah Hoegeng.




Tak Mau Dibayari Makan

Jenderal Hoegeng memang pantas diacungi jempol. Bayangkan saat menjabat sebagai Kapolri di era 1966-1971 dia menolak gratifikasi untuk urusan yang kecil. Hoegeng marah besar kala ada yang membayarinya makan di restoran.

Hoegeng meninggal dunia pada 2004 lalu. Namun aksi dia terus menjadi legenda. Gus Dur bahkan menyebutnya polisi yang tak bisa disuap.

Berdasarkan pengakuan putra Hoegoeng, Didit, Hoegeng tak pernah mau makan di restoran.

Ternyata awal mulanya karena ada yang membayari Hoegeng makan di restoran. Saat itu Hoegeng dan keluarga dalam perjalanan ke Bandung, dan mampir ke sebuah restoran. Nah, saat membayar itu sang kasir menolak menerima uang bayaran, karena sudah ada yang traktir.

"Papi marah besar, tetapi orang yang membayar sudah tak ada lagi. Sejak itu, Papi tak mau lagi makan di restoran mana pun," ujar Didit.

Tak hanya itu saja, Didit juga bertutur, ayahnya marah saat mobil dinas Polri dipakai olehnya. Hoegeng merasa bersalah kalau kendaraan dinas dipakai untuk urusan pribadi.

"Meskipun pelat nomornya bukan pelat dinas ayahmu, tetapi mobilnya adalah mobil dinas Polri. Polisi di jalan itu tahu itu mobil siapa," urai Didit menirukan ucapan ayahnya.




Bingkisan dari Anak Buah


Mungkin sudah lazim seorang Kapolri menerima bingkisan dari anak buahnya. Apalagi kalau melakukan kunjungan ke daerah. Tapi tidak bagi Hoegeng Iman Santoso. Kapolri pada 1966-1971 ini menolak bingkisan dari kepala polisi daerah yang notabene anak buahnya.

"Saat Papi melihat bingkisan-bingkisan, ia turun lagi dari pesawat dan minta bingkisan-bingkisan itu diturunkan. Papi tidak mau terbang sebelum barang-barang tersebut disingkirkan dari pesawat," jelas Didit, putra Hoegeng menceritakan perilaku ayahnya.

Hoegeng menolak gratifikasi dari hal yang kecil.

Didit bercerita, setiap melakukan kunjungan para kepala polisi daerah memang selalu memberikan bingkisan berupa makanan, buah-buahan, atau yang lainnya. Dan bingkisan itu sudah diletakkan di pesawat sebelum terbang pulang. Dan Hoegeng menolak itu semua.



Hoegeng juga selalu bepergian dengan pesawat kepolisian kala ke daerah. Dia tak mau memakai pesawat komersil karena khawatir membebani anggaran negara.

Sumber: Kaskus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar