Rabu, 18 Juli 2012

Taman Budaya Expo, antara dulu dan sekarang


Masih terbayang dalam ingatan masa kecilku, saat expo tahun 90-an, suasana meriah semarak dengan warna warni budaya yang dibawa dari setiap daerah diseluruh tanah Papua. Mulai dari tari-tarian, produk-produk kesenian, makanan khas daerah masing-masing, setiap daerah berlomba-lomba menampilkan yang terbaik.

Setelah belasan tahun yang lalu, sore itu saya kembali berjalan menyusuri area yang dulu bagaikan ‘Disney Land’ Papua ini terlihat sepi, denyut kehidupan ‘Budaya’ itu sirna.

Terlihat bangunan-bangunan setiap anjungan yang dulu berdiri angkuh menampilkan cirinya masing-masing kini hanya terlihat lusuh, tak terurus, seolah tertunduk lelah bersama hilangnya kepedulian kita akan identitas diri yang kita sebut Budaya. Apakah nilai-nilai ini hilang karena kita semua terhanyut dalam kerasnya hidup yang tidak pandang bulu? Salah siapa?

Dibangun awal 1980-an, Kompleks Taman Budaya (KTB) ini diharapkan dapat menjadi pusat kebudayaan Papua (saat itu Irian Jaya). Setelah aset ini diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah pada akhir1990-an, keberadaannya semakin tidak terurus hingga terkesan terlantar. 

Berhadapan dengan anjungan Manokwari, terlihat anjungan Sorong dengan bangunan modern berlantai dua yang menjulang. Disebelahnya lagi ada anjungan Jayawijaya (Wamena) dengan beberapa bangunan menyerupai rumah adat tradisional Honai. Pada sisi kanan kiri ruas jalan yang menuju Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Budaya, tampak berjejer anjungan lain milik beberapa kabupaten induk seperti, Nabire, Biak Numfor, Yapen Waropen, Jayapura, Fak-Fak dan Merauke. Masing-masing anjungan memiliki bangunan berbentuk rumah adat tradisional yang pada tiap dinding, tiang penyangga hingga pagarnya berhiaskan motif ukiran yang menjadi ciri khas daerahnya.

Mayoritas penghuni area ini adalah mahasiswa dari setiap daerah di Papua. Mereka menghuni anjungan masing-masing. Sudah berbagai macam upaya dari Pemerintah Provinsi Papua untuk menertibkan kembali area ini agar dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Namun hasilnya selalu nihil, dan nyaris berujung pada aksi adu otot. Para penghuni kompleks ini tidak mau angkat kaki sebelum mendapatkan ganti rugi dari Pemerintah (Pemilik Area). Sungguh tidak dapat diterima dengan akal sehat tentang ganti rugi tersebut, pertama, Aset ini adalah milik pemerintah, kedua, jika dilihat dari kondisi bangunan-bangunan yang ditempati, hampir seluruhnya sudah tidak layak huni, karena tidak ada perawatan sama sekali.

Akibatnya berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pentas budaya harus dialihkan ke tempat lain. Tentunya hal ini tidak efektif dan efisien. Disini terlihat generasi masa sekarang tidak lagi menghargai nilai-nilai budaya, dan kebal terhadap arti identitas diri sebagai suatu bangsa yang beradab.
Apakah Budaya itu bukan sesuatu yang signifikan lagi? Apakah kita sudah tidak peduli lagi dengan identitas yang mengalir dalam darah kita, jika demikian, nilai apa lagi yang bisa kita peluk untuk menyatakan keberadaan diri kita, orang PAPUA..
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar